Selasa, 23 April 2019

Buyung Nan Malang


Buyung Nan Malang

Buyung duduk termenung  di sebuah kursi kayu yang sudah usang di tras rumah. Air matanya berlinang memikirkan nasib dirinya. Baru tiga bulan yang lalu ibunya tersayang telah dipanggil yang Maha Kuasa. Sekarang ayahnya yang merupakan tempat dia bergantung satu-satunya juga akan pergi meninggalkan dirinya, dan akan menikah dengan perempuan lain. Sesuai tradisi di Minangkabau, apabila ibu meninggal maka ayah akan pergi dari rumah ibu.
            Rasa sedih, perih, cemas dan bingung berkecamuk didalam diri Buyung. “bagaimana nasibku kelak? Aku baru kelas VI SD, ibu tiada, ayah akan pergi, sedangkan nenek sudah tua dan hidup sendirian karena kakek juga telah meninggal”. Gumamnya dalam hati. Air matanya mulai menetes membahasi pipinya, pandangannya menerawang jauh dan seakan kehilangan gairah hidup. “Ibu, mengapa tak kau bawa saja aku bersamamu?” Gumamnya dalam hati. Pada saat itu neneknya datang menghampiri dan berusaha membujuknya. “sudahlah Yung, jangan terlalu dipikirkan! Kan masih ada nenek”.  Buyung hanya diam saja, kemudian dia memeluk neneknya.
Ayahnya keluar sambil menjijng sebuah tas berisi pakaian, dan menghampirinya.  “Yung, ayah akan pergi kerumah orang tua ayah, jangan cemas, ayah akan mengujungimu kalau ada kesempatan. Buyung tidak menjawab, bahkan menatap ayahnya saja dia tidak mau. “ibu aku titip buyung, tolong jaga dia!” kata ayahnya kepada neneknya. Iya Udin, kamu takusah khawatir. kemudian ayahnya melangkah untuk meninggalkan rumah, dan pada saat itulah tangis buyung pecah. Mendengar tangis buyung, sang ayah menoleh kebelakang, kemudian berpaling lagi dan melanjutkan langkahnya. Sementara Buyung terus menangisi nasibnya yang malang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar