Buyung Nan
Malang
Buyung duduk
termenung di sebuah kursi kayu yang sudah
usang di tras rumah. Air matanya berlinang memikirkan nasib dirinya. Baru tiga
bulan yang lalu ibunya tersayang telah dipanggil yang Maha Kuasa. Sekarang
ayahnya yang merupakan tempat dia bergantung satu-satunya juga akan pergi
meninggalkan dirinya, dan akan menikah dengan perempuan lain. Sesuai tradisi di
Minangkabau, apabila ibu meninggal maka ayah akan pergi dari rumah ibu.
Rasa
sedih, perih, cemas dan bingung berkecamuk didalam diri Buyung. “bagaimana
nasibku kelak? Aku baru kelas VI SD, ibu tiada, ayah akan pergi, sedangkan
nenek sudah tua dan hidup sendirian karena kakek juga telah meninggal”.
Gumamnya dalam hati. Air matanya mulai menetes membahasi pipinya, pandangannya
menerawang jauh dan seakan kehilangan gairah hidup. “Ibu, mengapa tak kau bawa saja
aku bersamamu?” Gumamnya dalam hati. Pada saat itu neneknya datang menghampiri
dan berusaha membujuknya. “sudahlah Yung, jangan terlalu dipikirkan! Kan masih
ada nenek”. Buyung hanya diam saja, kemudian
dia memeluk neneknya.
Ayahnya keluar sambil menjijng sebuah tas berisi
pakaian, dan menghampirinya. “Yung, ayah
akan pergi kerumah orang tua ayah, jangan cemas, ayah akan mengujungimu kalau
ada kesempatan. Buyung tidak menjawab, bahkan menatap ayahnya saja dia tidak mau.
“ibu aku titip buyung, tolong jaga dia!” kata ayahnya kepada neneknya. Iya
Udin, kamu takusah khawatir. kemudian ayahnya melangkah untuk meninggalkan
rumah, dan pada saat itulah tangis buyung pecah. Mendengar tangis buyung, sang
ayah menoleh kebelakang, kemudian berpaling lagi dan melanjutkan langkahnya.
Sementara Buyung terus menangisi nasibnya yang malang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar